April 7, 2011

fakir miskin dan anak terlantar

Bab I
Pendahuluan
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkam kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Di dalam perjalanan sejarah, tema hak relatif lebih muda usianya dibandingkan dengan tema kewajiban, walaupun sebelumnya telah lahir . Tema hak baru “lahir” secara formal pada tahun 1948 melalui Deklarasi HAM PBB, sedangkan tema kewajiban (bersifat umum) telah lebih dahulu lahir melalui ajaran agama di mana manusia berkewajiban menyembah Tuhan, dan berbuat baik terhadap sesama.
Pengertian Hak Ketika lahir, manusia secara hakiki telah mempunyai hak dan kewajiban. Tiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, tergantung pada misalnya, jabatan atau kedudukan dalam masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban, penulis ingin memaparkan pengertian hak dan kewajiban. K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika memaparkan bahwa dalam pemikiran Romawi Kuno, kata ius-iurus (Latin: hak) hanya menunjukkan hukum dalam arti objektif. Artinya adalah hak dilihat sebagai keseluruhan undang-undang, aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat demi kepentingan umum (hukum dalam arti Law, bukan right). Pada akhir Abad Pertengahan ius dalam arti subjektif, bukan benda yang dimiliki seseorang, yaitu kesanggupan seseorang untuk sesuka hati menguasai sesuatu atau melakukan sesuatu(right, bukan law). Akhirnya hak pada saat itu merupakan hak yang subjektif merupakan pantulan dari hukum dalam arti objektif. Hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat. Kewajiban dibagi atas dua macam, yaitu kewajiban sempurna yang selalu berkaitan dengan hak orang lain dan kewajiban tidak sempurna yang tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna mempunyai dasar keadilan, sedangkan kewajiban tidak sempurna berdasarkan moral.
Contoh dari hak adalah:
1.      Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum;
2.      Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak;
3.      Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan;
4.      Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai;
5.      Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran;
6.      Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh;dan
7.      Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku.
Contoh dari kewajiban adalah:
1.      Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh;
2.      Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda);
3.      Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya;
4.      Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara Indonesia;dan
5.      Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.

Sebagaimana yang telah diatur oleh UUD 1945 maka kita harus melaksankan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dengan tertib,yang meliputi:
1.      Hak dan kewajiban dalam bidang politik;
2.      Hak dan kewajiban dalam bidang sosial budaya;
3.      Hak dan kewajiban dalam bidang hankam;dan
4.      Hak dan kewajiban dalam bidang ekonomi.

Bab II
Pembahasan
Kemiskinan merupakan masalah strategis dihadapi bangsa ini karena menyangkut nasib hidup rakyat dan perlu kebijakan konkret dalam penanganan.

Rentetan bencana mengguncang tanah air kita dalam dua tahun terakhir. Mulai gempa dan gelombang tsunami di Aceh, gempa tektonik Jogjakarta - Jateng dan musibah banjir di beberapa daerah. Ibu Pertiwi kembali menangis atas musibah gempa tektonik dan tsunami di wilayah pantai selatan Pulau Jawa, Senin 17 Juli 2006.

Gempa yang disusul gelombang pasang itu mengakibatkan sedikitnya 500 orang tewas, ratusan lainnya hilang dan ribuan warga di sejumlah wilayah pesisir mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Pemerintah berusaha membantu meringankan korban bencana melalui kegiatan pembangunan seperti pembenahan sarana infrastruktur, relokasi korban gempa, pembangunan jalan, jembatan, irigasi pertanian dan pembangunan sarana umum penting lainnya. Di samping upaya pemulihan fisik pembangunan, pemerintah bersama lembaga sosial dan masyarakat membantu trapi psikologis bagi korban bencana terutama usia anak.

Konsekuensi logis dari musibah alam yang menimpa republik ini tidak hanya menjadi beban pemerintah dan masyarakat korban gempa, lebih dari itu adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin. Saat ini mungkin belum ada penelitian khusus dari lembaga sosial maupun pemerintah tentang peningkatan jumlah penduduk miskin pascagempa, atau musibah alam yang terjadi.

Survai Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2003 tentang prakiraan penduduk miskin Indonesia sampai Nopember 2005, mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 54,8 juta jiwa atau 25 persen dari jumlah penduduk 219.204.700 jiwa. Angka ini cukup memiriskan di saat negara kita masih dilanda krisis ekonomi dan memiliki utang luar negeri yang cukup tinggi.

Terima kasih dan penghargaan patut kita sampaikan kepada pemerintah, akademisi, lembaga profesi dan sosial yang selama ini besar perhatiannya terhadap upaya mengurangi kemiskinan. Bagi pemerintah sendiri, upaya mengurangi penduduk miskin secara terpadu dan giat dimulai 1994 melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kemudian pada 1995/1996 dilanjutkan dengan Jaring Pengaman Sosial Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi (JPS PMDKE).

Sebagai tindak lanjut dari kedua program tersebut, pemerintah memberikan bantuan bagi keluarga miskin melalui operasi pasar khusus (OPK) beras dengan pola penyaluran di tingkat kelurahan. Kebijakan penjualan beras bersubsidi berlanjut sampai sekarang dengan nama baru, yakni beras untuk keluarga miskin (raskin).

Kendati dalam perjalanannya program sosial ini banyak ditemukan masalah, mulai dari salah sasaran, pinjaman yang tidak dikembalikan, pemotongan nilai pinjaman oleh oknum pengelola, namun secara umum mampu menghidupkan kembali usaha kecil masyarakat yang sebelumnya sempat terhenti karena kekurangan modal atau merugi.

Antara memberi dan mengemis
Hukum Islam menyatakan bahwa bagi orang yang cukup hartanya maka diwajibkan atas dia untuk menyisihkan hartanya. Sebagaimana tertulis dalam surat Al-Ma’arij ayat 24-25:
“dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan tidak meminta”.
Dalam surat ini disebutkan bagi orang yang meminta-minta ataupun orang yang membutuhkan tetapi tidak meminta secara langsung karena malu.
Sehingga menurut Alquran, mengemis atau meminta-minta itu diperbolehkan, dengan catatan karena alasan kebutuhan bagi orang yang benar-benar miskin.
Ada dua macam orang yang berhak mendapatkan bantuan, yaitu: orang fakir, orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; dan orang miskin, orang yang masih mampu bekerja tetapi masih kekurangan. Maka kewajiban kita sebagai muslim untuk memberikan bantuan, terutama bagi kerabat dekat kita yang membutuhkan.
Memberi dan menolong adalah sebagian dari iman. Hanya saja, memberikan bantuan pun ada batasannya, janganlah berlebihan dalam memberikan sedekah. Hadits riwayat Bukhori menyebutkan bahwa memberikan makanan itu bagian dari keimanan. Maksudnya, kita sebagai muslim dapat memberikan manfaat untuk orang lain. Rasulullah SAW juga mengajarkan kita untuk cinta kepada sesama. Tidak sempurnalah orang beriman jika dia tidak mencintai sesamanya seperti dia mencintai dirinya sendiri.
Karena itu, dalam Islam, tidak ada masalah dengan sikap masyarakat yang sering bersedekah secara langsung kepada pengemis di Masjid Salman ITB. Ustadz Andri Mulyadi menerangkan, “Niat kita memang untuk memberi. Jika apa yang kita berikan kemudian disalahgunakan, itu adalah urusan mereka dengan Allah.

 

Lembaga yang Berwenang dalam pendataan fakir miskin.

Menteri Sosial dan Fakir Miskin
Menteri Sosial RI Salim Segaf Al Jufri mengatakan perlu adanya pengaturan yang tegas dalam penentuan lembaga berwenang melakukan pendataan fakir miskin dan penanggung jawab pelaksanaan penanganan fakir miskin. Selain itu, diperlukan unifikasi data sebagai basis data terpadu yang dapat digunakan oleh semua sektor.
“Dalam hal pendataan fakir miskin perlu pula dilakukan sinkronisasi pengaturan dengan pendataan dan penetapan fakir miskin sebagaimana yang akan diatur dalam pengaturan pelaksanaan dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,” kata Mensos Salim Asegaf saat pembasahan Rancangan Undang-undang tentang Penanganan Fakir miskin dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VIII digedung DPR RI Jakarta, Rabu (2/3).
Menurutnya, dalam RUU tentang penanganan fakir miskin belum ada pengaturan yang jelas mengenai penanggung jawab pelaksanaan penanganan fakir miskin. Untuk itu pemerintah mengusulkan perlu adanya pengaturan yang didasarkan pada lingkup wilayah, yaitu untuk tingkat nasional penanggung jawabannya Menteri Sosial, tingkat provinsi Gubernur, tingkat kabupaten/kota penanggung  jawabnya Bupati dan Walikota.
Mengenai sumber pendanaan bagi penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, pemerintah berpandangan untuk menghapus materi pengaturan sumber pendanaan fakir miskin dari RUU ini dengan pertimbangan menghindari tumpang tindih atau duplikasi pengaturan. Namun, apabila diperlukan adanya pengaturan sumber pendanaan bagi fakir miskin, diusulkan agar pengaturan sumber dana fakir miskin tidak bersifat umum, tapi dari sumber yang khusus.
Mensos menambahkan pengaturan ketentuan pidana dalam RUU tentang penanganan fakir miskin perlu pencermatan kembali, karena delik pidana yang bersifat umum, yaitu pemalsuaan dan penyalahgunaan, telah diatur dalam KUHP. Sebaiknya, bab ketentuan pidana tidak diatur dalam RUU tentang Penanganan Fakir Miskin, karena delik pidana yang diatur dalam RUU ini sudah secara otomatis tunduk pada ketentuan pidana yang diatur KUHP.
Kemudian mengenai definisi Fakir Miskin yang tercantum dalam RUU, pemerintah memandang akan mengalami kesulitan dalam operasional, karena ada pembatasan definisi ini hanya didasarkan pada mereka yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok. Diusulkan definisi fakir miskin agar lebih operasional.
Adapun hasil rekapitulasi DIM tentang RUU Penanganan Fakir Miskin kami kategorikan empat dengan jumlah keseluruhan DIM sebanyak 275 terdiri dari substansi tetap 77 DIM, substansi perubahan redaksional 24 DIM, substansi perubahan 33 DIM dan substansi hapus berjumlah 141 DIM. (T.wd/dry)

Penanganan Fakir Miskin melalui Undang-Undang antara Idealisme Mulia dan Eksploitasi Kemiskinan
Sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD NRI 1945 bahwa pemerintah negara Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan wajib pula memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa maka disusunlah sebuah peraturan yang mangatur mengenai penanganan fakir miskin di Indonesia.
Pembukaan UUD NRI 1945 sendiri merupakan cita hukum dan sekaligus cita negara yang disebutkan oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo, bahwa suatu sistem pemerintahan tergantung pada Staatsidee dan Rechtsidee yang dijadikan dasar pemerintahan tersebut. Mr. Soepomo menterjemahkan Staatsidee ini dengan istilah dasar pengertian negara atau aliran pikiran negara. J. Oppenheim memberikan makna staatsidee ini sebagai hakekat yang paling dalam dari negara –de staats diepste wezen– atau kekuatan yang membentuk negara. Sehingga Perubahan pembukaan UUD NRI 1945 akan merubah jatidiri suatu negara yang akan berakibat terwujudnya suatu negara yang lain. Oleh karenanya, merupakan suatu keharusan jikalau mekanisme pengaturan mengenai penanganan fakir miskin tertuang pula dalam sistem hukum Indonesia yang dalam hal ini Undang-Undang.
Akan tetapi, melihat cita-cita hukum dan negara tersebut layaknyalah sebuah ide yang agung dan mulia tersebut diwujudkan dalam norma peraturan yang memnuhi asas-asas umum pembentukan aturan hukum yang baik (algemeine beginselen van behoorlijke regelgeving). Salah satu asas umum pembentukan aturan hukum yang baik adalah asas dapat dilaksanakan (het beginselen van uitvoerbaarheid) yang tertuang juga di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menjadi sebuah pokok pertanyaan bersama apakah dibentuknya aturan mengenai penanganan fakir miskin dapat menjadi sebuah aturan yang memenuhi asas dapat dilaksanakan? Bukan saja menjadi sebuah aturan pajangan macan kertas dan undang-undang yang bertujuan untuk sekedar menjadi pelicin bagi sebuah kementerian ‘menggondol’ uang dengan alasan penanganan fakir miskin.
Oleh karenanya, diharapkan bagi seluruh rakyat Indonesia terutama bagi lembaga swadaya masyarakat yang berjuang untuk memperkecil disparitas ekonomi rakyat agar dapat memberikan kritik dan masukan terhadap rancangan undang-undang penanganan fakir miskin ini. Adapun RUU penanganan fakir miskin ini telah selesai diharmonisasi oleh Baleg DPR RI dan akan segera disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna kedepan.

Solusi Penanganan
UUD 1945 pasal 34 ayat 1 mengamanatkan, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Pengertian dipelihara negara dalam penjelasan UUD sama dengan tanggungjawab negara melindungi dan memelihara fakir miskin dan anak telantar. Berpijak dari hukum dasar negara tersebut adalah kewajiban pemerintah mencari strategi efektif penanganan kemiskinan.

Kemiskinan merupakan masalah strategis dihadapi bangsa ini, karena menyangkut nasib hidup rakyat dan perlu kebijakan konkret dalam penanganan. Agar penanganan kemiskinan terarah dan berkelanjutan hingga menjadi tanggungjawab seluruh warga negara, saatnya republik tercinta ini memiliki Undang Undang Penanganan Kemiskinan. UU ini bisa memuat pokok dasar penanganan kemiskinan, penangulangan bencana alam, tatacara penggalangan bantuan dan penyaluran bantuan bagi korban bencana.

Sebagai tindak lanjut UU ini, pemerintah bisa membuat Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penanganan Kemiskinan sebagai peraturan pelaksana UU. Bila UU dan PP penanganan kemiskinan sudah dimiliki, langkah selanjutnya departemen terkait bisa merancang standarisasi pedoman penanganan kemiskinan nasional. Di tingkat daerah, gubernur, bupati dan walikota menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanganan kemiskinan sesuai kondisi daerah masing-masing dengan mengacu standarisasi pusat.

Setelah penetapan standarisasi penanganan kemiskinan nasional, upaya pengentasan kemiskinan dari pemerintah akan lebih efektif. Sebab, negara sudah memiliki pedoman baku dalam penanganan kemiskinan nasional. Masalah manajemen penanganan kemiskinan, seperti tumpang tindih penanganan, salah sasaran dalam pemberian bantuan dan masalah pengawasan departemen dan instansi yang menangani bisa dihindari. Sebab, masing-masing departemen dan instansi teknis telah memiliki acuan dasarnya.
Solusi mikro penanganan kemiskinan di tingkat daerah, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota bisa membentuk lembaga semacam dinas, tetapi bukan dinas sosial. Dinas ini khusus menangani kemiskinan dan bantuan terhadap korban bencana alam. Keberadaan dinas ini sangat penting, sebab selama ini penanganan kemiskinan di tingkat daerah terkesan tumpang tindih. Hal ini berdampak terhadap keterlambatan pemerintah dalam melakukan penanganan dan pemberian bantuan bagi korban bencana.

Bab III
Penutup
Di akhir tulisan ini penulis menyarankan, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan. Sebab, program sosial ini kurang mendidik masyarakat untuk berusaha hidup mandiri, di samping dalam pelaksanaanya ditemukan beragam masalah. Program BLT bisa diganti dengan kegiatan lain yang bersifat lebih mikro. Dengan cara menghidupkan kembali program padat karya di bidang pendidikan, pekerjaan umum dan kesehatan.
 
Peran media massa menyajikan berita kemiskinan dengan peliputan terencana dan berkelanjutan, disertai solusi penanganan sangat diharapkan sebagai wujud tanggungjawab sosial.

No comments:

Post a Comment