August 20, 2013

ISTIQAMAH

v Pengertian Istiqâmah
Menurut bahasa, istiqâmah artinya adalah al-i’tidâl (lurus). Dikatakan aqâmasy syai-a was taqâma artinya lurus dan mapan.
Sedang menurut syari’at, istiqâmah adalah meniti jalan lurus yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. Istiqâmah mencakup melakukan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang dilarang. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510)]
 “Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Fushshilat/41:30) dengan mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu pun.” [Tafsîr Ibni Katsîr (VII/176) tahqîq Sami bin Muhammad as-Salamah] ثُمَّ اسْتَقَامُوْا (Banyak perkataan para Shahabat, Tabi’in, dan yang lainnya dalam mendefinisikan istiqâmah. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Qatâdah rahimahullah berkata, “Maksudnya, berlaku luruslah dalam melaksanakan hal-hal yang diwajibkan.” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla,
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, mereka mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan beriman kepada-Nya kemudian berlaku lurus, tidak menyimpang dari tauhid, dan selalu iltizâm (konsekuen dan konsisten) dalam melakukan ketaatan kepada-Nya sampai mereka meninggal.” [Syarh Shahîh Muslim (II/8-9)]
Imam al-Qusyairi rahimahullah berkata, “Istiqâmah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barangsiapa yang tidak istiqâmah dalam kepribadiannya maka dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan, ”Istiqâmah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla dengan jujur.” [Syarhul-Arba’în libni Daqîqil ‘Ied (hlm. 86)]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan ” لُزُوْمُ طَاعَةِ اللهِِ ” artinya tetap konsekuen dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.” [Bahjatun Nâzhirîn, Syarh Riyâdhis Shâlihîn (I/165)]

v Keutamaan Istiqâmah
Istiqâmah mempermudah rizki dan melapangkan kehidupan di dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.” [al-Jinn/72:16]
Imam al-Qurhubi rahimahullah berkata, “Maksudnya, seandainya orang-orang kafir itu beriman, niscaya Kami berikan mereka keleluasan di dunia dan Kami lapangkan rezeki mereka.” [Tafsîr al-Qurthubi (XIX/17)]
Firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” [Fushshilat/41:30]
Maksudnya, mereka beriman kepada Allah Azza wa JallaYang Maha Esa, kemudian istiqâmah di atasnya dan di atas ketaatan sampai Allah Azza wa Jalla mewafatkan mereka. [Lihat Syarhul-Arba’în libni Daqiqil ‘Ied (hlm. 85)]
Tentang ayat di atas, al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, ”Mereka mengikhlaskan amal semata-mata karena Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan ketaatan sesuai dengan syari’at Allah Azza wa Jalla.” [Tafsîr Ibni Katsîr (VII/175)]
Ayat ini menunjukkan bahwa para malaikat akan turun menuju orang-orang yang istiqâmah ketika kematian menjemputnya, ketika dalam kubur dan ketika dibangkitkan. Para malaikat itu memberikan rasa aman dari ketakutan ketika kematian menjemput dan menghilangkan rasa sedih akibat berpisah dengan anaknya karena Allah Azza wa Jalla adalah pengganti dari hal itu. Juga memberikan kabar gembira berupa ampunan dosa dan kesalahan serta amalnya diterima. Juga kabar gembira tentang Surga yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati manusia. [Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VII/177) dengan diringkas dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 186-187)]

v Istiqâmah Adalah Meniti ash-shirâthal Mustaqîm
Istiqâmah adalah meniti ash-shirâthal mustaqîm, yaitu agama yang lurus yang tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâmah mencakup pengamalan seluruh ketaatan, yang lahir maupun batin serta meninggalkan larangan yang lahir maupun batin. Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran agama. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510)] Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan para pengikutnya agar istiqâmah di atas syari’at yang bijaksana, karena hal ini adalah agama yang kita diperintahkan untuk beribadah dengannya. Sedangkan selain Islam yaitu pendapat para tokoh yang kosong dari dalil tidak bisa disebut agama dan tidak pula sebagai hujjah. [Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 187)]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Hûd/11:112]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar teguh dan selalu istiqâmah karena itu merupakan sebab untuk mendapatkan pertolongan yang besar dalam mengalahkan musuh dan dapat menghindari bentrokan serta dapat terhindar dari perbuatan melampaui batas. Karena melampaui batas -meskipun terhadap orang musyrik- merupakan kehancuran. Dan Allah Azza wa Jalla memberi tahu bahwa Dia Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lalai dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.” [Tafsîr Ibni Katsîr (IV/354)]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak ada ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur`an yang lebih berat dan sulit bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada ayat ini.” [Lihat Tafsîr al-Qurthubi (IX/71)7]
Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbâs Radhiyallahu anhu, ia berkata, ”Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, ’Wahai Rasulullah! Engkau telah beruban.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ ، وَالْوَاقِعَةُ ، وَالْـمُرْسَلاَتُ ، وَعَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ ، وَإِذَا الشَّمْسُ
‘Aku telah dibuat beruban oleh (surat) Hûd, al-Wâqi’ah, al-Mursalât, ‘Amma yatasâ-alûn, dan Idzasy Syamsu kuwwirat”. [Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3297), al-Hâkim (II/343), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/388, no. 5964), dan selainnya. Lihat Silsilatul-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 955)]

v Istiqâmah Hati
Hati adalah bagian tubuh yang paling penting. Seorang hamba hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh agar hatinya tetap istiqâmah. Karena hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuhnya. Jika hati istiqâmah, maka seluruh anggota tubuhnya pun ikut istiqâmah.
Dasar dari istiqâmah adalah keistiqâmah-an hati di atas tauhid seperti penafsiran Abu Bakar ash-shiddîq dan lain-lain tentang firman Allah Azza wa Jalla, إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah Azza wa Jalla,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka…(al-Ahqâf/46:13) bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak menoleh kepada tuhan selain Allah Azza wa Jalla. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/508)] Jadi, jika hati telah istiqâmah di atas ma’rifatullâh, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan berpaling dari selain Dia, maka sungguh, seluruh anggota badan akan istiqâmah dengan taat kepada-Nya. Karena hati adalah raja bagi organ tubuh (lainnya) yang merupakan pasukan hati. Jika raja sudah istiqâmah, maka pasukan dan rakyatnya akan istiqâmah pula. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/511-512)]

v Istiqâmah Lisan
Anggota tubuh yang terpenting yang perlu mendapatkan perhatian setelah hati adalah lisan. Karena lisan adalah media yang mengungkapkan apa yang tersimpan dalam lubuk hati. Terkadang keluar ucapan yang dianggap sepele namun dapat membuat pengucapnya binasa di dunia dan akhirat.
Dalam hadits ini, ketika Sufyân bin ’Abdillâh Radhiyallahu anhu bertanya, ”Apa yang engkau khawatirkan padaku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ini,” sambil memegang ujung lidah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa lisan sangat berbahaya, sebab seseorang dapat istiqâmah apabila lisannya istiqâmah dalam ketaatan atau tidak mengucapkan perkataan yang mendatangkan dosa dan murka Allah k. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dia memarfu’kannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأََعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ : اِتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَـا نَحْنُ بِكَ، فَإِنِ اسْتَقَمْتَ ؛ اِسْتَقَمْنَا ، وَإِنِ اعْوَجَجْتَ ؛ اِعْوَجَجْنَا
“Jika anak keturunan Adam berada di pagi hari, seluruh organ tubuh tunduk kepada lidah dengan berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jallapada kami, karena kami bersamamu. Jika engkau istiqâmah, kami juga istiqâmah. Jika engkau menyimpang, kami juga menyimpang.” [Hasan: HR. Ahmad (III/95-96), at-Tirmidzi (no. 2407), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush Shamt (no. 12), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 1), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimân (no. 4595), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (III/342, no. 5779), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4126), dan selainnya. Lihat Shahîhul Jâmi’ish Shaghîr (no. 351)]
Dan kebanyakan yang menyeret manusia ke neraka adalah lisan. Banyak nash yang berisi ancaman bagi yang membiarkan lisannya begitu saja tanpa kendali.
إِنَّ الْعَبْدَ لَـيَـتَـكَـلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَـتَـبَـيَّـنُ مَا فِـيْهَا يَـهْوِيْ بِـهَا فِـى النَّـارِ أَبْـعَدَ مَا بَيْـنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak jelas, maka akan menjerumuskannya ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang ada di antara timur dan barat.” [Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6477) dan Muslim (no. 2988 (50)), lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah z]
Demikian pula banyak nash yang mendorong agar menjaga lisan dan meluruskannya sesuai dengan perintah Allah. Di antaranya:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” [Qâf/50:18]
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa semua ucapan manusia akan dihisab. Ada Malaikat yang selalu mengawasi semua perkataan manusia dan selalu menulisnya, baik yang baik maupun yang buruk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَازَعِيْمٌ فِيْ رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَوَإِنْ كَانَ مُحِقًّا , وَأَناَزَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَ إِنْ كَانَ مَا زِحًا , وَأَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di taman-taman Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia yang benar; aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia hanya bercanda; dan aku menjamin dengan sebuah istana di Surga yang tertinggi bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” [Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4800) dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ (X/249) dari Shahabat Abu Umâmah z . Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 273)]

v Kiat Menggapai Istiqâmah
Di antara kiat yang dapat mengantarkan kepada istiqâmah dalam berbagai kondisi, perkataan, dan perbuatan ialah:
1.    Taubat nasûha.
2.    Murâqabatullâh, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika tidak terlihat orang lain maupun saat terlihat.
3.    Muhâsabah, yaitu menginstrospeksi segala amal perbuatan yang telah dikerjakan.
4.    Mujâhadah, yaitu berjuang sungguh-sungguh menggembleng jiwa dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

v  Berbagai Wasilah (Cara) Agar Tetap Teguh Di Atas istiqâmah
Agar tetap istiqâmah, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya :
1.    Ikhlas dalam beramal dan mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).
2.    Menjaga shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid.
3.    Berani dalam melakukan amar ma’rûf dan nahi munkar.
4.    Menuntut ilmu syar’i.
5.    Takut kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengingat siksa Neraka yang sangat pedih.
6.    Mencari teman yang shalih.
7.    Menjaga hati, lisan, dan anggota badan dari yang diharamkan.
8.    Mengetahui langkah-langkah setan.
9.    Senantiasa berdzikir dan berdo’a agar diteguhkan di atas istiqâmah.
Di antara do’a yang sering dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.” [Shahîh: HR. At-Tirmdizi (no. 3522) dan Ahmad (VI/302, 315) dari Ummu Salamah]

v Faedah Hadist
1.    Semangat para shahabat Radhiyallahu anhum terhadap ilmu dan semangat mereka dalam menjaga keimanan. Hal ini terlihat dari berbagai pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyangkut semua yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.
2.    Orang yang tidak tahu hendaknya bertanya kepada orang yang berilmu.
3.    Kecerdasan Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Radhiyallahu anhu , dia bertanya dengan pertanyaan agung yang merupakan puncak pertanyaan. Pertanyaan beliau sangat dibutuhkan setiap muslim.
4.    Selayaknya orang yang bertanya tentang ilmu mengajukan pertanyaan yang singkat, padat, dan berbobot sehingga berbagai disiplin ilmu tidak bercampur aduk.
5.    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawâmi’ul kalim (perkataan yang singkat, maknanya padat). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan seluruh kebaikan agama dalam dua kalimat, yaitu “Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan istiqâmahlah”.
6.    Iman adalah keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Ini ditunjukkan oleh makna istiqâmah yang mencakup ketaatan hati, lisan, dan anggota badan.
7.    Dalam hadits ini terdapat perintah agar istiqâmah di atas iman dan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata dan melaksanakan ibadah dengan istiqâmah hingga meninggal dunia.
8.    Iman kepada Allah Azza wa Jalla tidak sempurna kecuali dengan istiqomah, yaitu istiqomah dalam tauhid kepada Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.
9.    Anjuran untuk introspeksi diri, apakah ia orang yang istiqâmah atau tidak, supaya ia memperbaiki diri.
10. Derajat istiqâmah sangat tinggi yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang.
11.  Istiqâmah sangat berat, dan Allah Azza wa Jalla memudahkan bagi orang-orang yang ikhlas bertauhid dan terus-menerus dalam ketaatan.
12.  Orang yang menyia-nyiakan kewajiban berarti ia bukan orang yang istiqâmah bahkan ia telah menyeleweng. Dan penyelewengan akan semakin besar tergantung sejauh mana dia meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan.
13.  Seorang muslim dianjurkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar dikaruniai iman dan istiqâmah.
14.  Seorang muslim dianjurkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar dikaruniai iman dan istiqomah.